KOMPAS/Albertus Hendriyo Widi Ismanto
Ilustrasi
KOMPAS.com - Musim tanam
setiap tahun sangat berarti karena menandai petani untuk mulai
mengolah sawahnya. Benih padi, pupuk yang murah, dan air irigasi
berkecukupan merupakan modal utama budidaya tanam padi. Benih dan pupuk
harus ditebus dengan uang, sedangkan air irigasi adalah anugerah alam.
”Iklim
ekstrem ternyata menyebabkan biaya tanam padi, kok, semakin mahal. Air
melimpah kalau tak mengalir ke sawah, ya, perlu tambahan biaya supaya
mengaliri sawah,” kata Maskur, petani di Dusun Angin-angin, Desa Buko,
Kecamatan Wedung, Demak, Jawa Tengah, pekan lalu.
Tahun ini,
sawah Maskur termasuk lahan yang kurang beruntung. Pasalnya, bendung
karet dekat sawahnya di Sungai Kanal Kumpulan jebol. Petani bertubuh
tinggi kurus itu ketika ditemui di sawahnya sedang mengawasi 10 buruh
tani sawah seluas 4.500 meter persegi.
Perempuan buruh menanam
benih padi, sedangkan laki-laki buruh membantu menarik tumpukan benih
padi ke tengah sawah dengan karung. Genangan air di sawah hanya 10
sentimeter, padahal semestinya 20-30 sentimeter agar benih dijamin
tumbuh dan aman dari hama tikus.
Sawah Maskur, seperti hamparan
sawah lain di Kecamatan Wedung, Mijen, dan Bonang, adalah potret lumbung
gabah di Demak. Lumbung ini bisa memasok lebih dari 100.000 ton gabah
per musim. Sawah-sawah itu berada di sepanjang aliran Sungai Kanal
Kumpulan, sungai andalan pertanian yang airnya berasal dari sisa
irigasi Waduk Kedungombo, Boyolali.
Ia menuturkan, modal tanam
padi pada musim kali ini sekitar Rp 1,8 juta. Itu di luar iuran
menyedot air melalui genset sebesar Rp 1 juta. ”Biaya tambahan itu baru
kali ini terpaksa diusahakan meski harus utang kepada juragan beras,”
ujarnya mengeluh.
Upah buruh tani pun naik Rp 5.000 per orang.
Upah perempuan buruh yang musim lalu Rp 10.000 kini menjadi Rp 15.000
dan upah laki-laki buruh mencapai Rp 30.000. Jika ditambah uang rokok,
biaya upah 10 buruh tani minimal Rp 225.000.
Kendati hanya
berjarak 150 meter dari Sungai Kanal Kumpulan, sawah Maskur tak
terjangkau air. Pasalnya, sawah-sawah itu terhalang tanggul sungai yang
berfungsi sebagai jalan desa. Letak hampir semua sawah lebih rendah,
1-2 meter dari permukaan sungai
Sekretaris Dharma Tirta Wedung
Dulhadi mengatakan, petani terpaksa mengeluarkan dana tambahan tanam
padi menyusul jebolnya bendung karet yang sudah lebih dari 15 tahun
berfungsi membendung aliran Sungai Kanal Kumpulan.
Fungsi bendung
itu, saat elevasi air naik karena curah hujan, tidak semua air
terbuang ke laut, tetapi limpasannya mengalir ke kanal-kanal di kiri dan
kanan sungai. Kanal itu merupakan saluran tersier irigasi bagi
pengairan sawah.
”Dengan memanfaatkan air di kanal, irigasi untuk
pertanian padi yang jauh dari sungai tercukupi. Ketika bendung jebol,
air sungai langsung terbuang ke laut,” kata Dulhadi.
Mencegah hama tikus
Kerusakan
bendung, menurut Ketua Kelompok Tani Prima Karya, Desa Kenduren,
Muhfid, memicu pembengkakan biaya tanam padi. Kelompoknya mengelola 160
hektar sawah di utara sungai. Lahan-lahan itu jauh dari sungai sehingga
kalau tak ada pasokan air akan telantar.
”Sawah tidak
sepenuhnya mengandalkan air hujan. Air hujan cepat meresap di sawah,
tetapi pasokan irigasi tetap jadi andalan,” ujar Muhfid yang
mengkoordinasi 125 petani anggota.
Mengingat kebutuhan air hanya
bisa dicukupi dari beroperasinya mesin penyedot air, petani pun
terpaksa iuran membeli mesin penyedot. Pengadaan mesin Dongfeng 10 PK
itu seharga Rp 8 juta.
Mesin tersebut beroperasi dua kali
seminggu. Sekali sedot berdurasi 24 jam untuk mengairi 15 hektar lahan.
Untuk keperluan layanan mesin itu, kelompok tani ini membayar dua
pekerja minimal Rp 6 juta per tahun.
Muhfid menuturkan, untuk
mencukupi irigasi sawah di empat blok saja, biayanya sekitar Rp 20
juta. Biaya besar ini belum termasuk biaya budidaya padi Rp 3,5
juta-Rp 4,5 juta per hektar.
Biaya itu meliputi sewa traktor Rp
500.000-Rp 600.000 per musim, biaya tanam Rp 600.000, ongkos pupuk Rp
600.000-Rp 700.000, pembelian benih Rp 50.000, obat-obatan Rp 300.000,
serta biaya cadangan. ”Kalau sawahnya sewa, ya, tinggal nambah. Harga
sewa sawah per hektar Rp 10 juta-Rp 12 juta setahun,” katanya.
Tambahan
biaya cukup besar itu, ujar Sanudi asal Desa Dagan, belum tentu
menjamin panen padi bagus. Rata-rata sawah di daerah tersebut
menghasilkan minimal 6-7 ton gabah kering giling. Persoalannya, tanaman
padi muda menjadi sasaran empuk hama tikus. Kalau sawah tergenang air,
tikus naik ke tanggul, lalu petani mudah membasminya.
”Benih
padi dipindahkan ke hamparan sawah itu saat umur 30 hari. Setelah
ditanam, hama tikus beraksi. Tikus menyerang malam hari, bisa sampai
puluhan tikus di sawah iring-iringan anak itik,” kata Sanudi.
Untuk
mencegahnya, ada petani yang terpaksa memagari sawahnya dengan pagar
seng dalam satu blok seluas 53 hektar. Ongkos pemasangan pagar sebesar
Rp 70 juta itu ditanggung petani.
(Winarto Herusansono)
sumber:kompas.com